Rihlah Salman Al-Farisi(2): Lonceng Gereja Sang Pendeta

 


Setibanya di Syam, Salman merasa bahagia. Ibarat seekor burung  yang menemukan sangkar yang pas untuk tinggal. Akhirnya Salman tinggal di tanah suci agama samawi. Sesampainya di sana Salman mencari seseorang yang paling alim dalam memahami ajaran Nasrani. Tibalah dia di depan rumah seorang tua renta yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai orang yang paling dalam pengetahuannya tentang ajaran Nasrani. Salman pun mengetuk pintu rumah dan tak lama berselang keluarlah pendeta tuan rumah dari balik daun pintu. Wajahnya terlihat tua, beruban, dan penuh kerutan disana sini, namun wajah tua yang ada dihadapan Salman adalah seorang yang telah makan asam manisnya pengetahuan kerohanian. Salman dengan lugas menyampaikan kehendaknya.

“apakah anda orang yang alim di antara para jemaat gereja?” tanya Salman.

“ya, sayalah orang yang paling paham ajaran Nasrani di daerah ini, Tuhan telah memberikan sebagian dari pemahaman firmannya kepadaku.” tukas sang pendeta.

“Jika demikian izinkanlah saya tinggal bersamamu untuk belajar agama Nasrani, sungguh aku adalah hamba tuhanmu.” Pinta Salman kepada pendeta.

“baiklah kau boleh tinggal di rumahku. Namun aku memintamu untuk membantuku mengerjakan beberapa hal,” kata pendeta.

Salman menyanggupi permintaan pendeta dan iapun tinggal di rumah dan belajar segala  hal tentang ajaran Nasrani. Pendeta itupun sangat baik kepada Salman dan seringkali mengingatkan para jemaat gereja untuk bersedekah kepada gereja dan nantinya akan disalurkan ke pihak-pihak yang membutuhkan. Dengan teknik retorika yang sangat lihai, pendeta berhasil menggaet hati jemaat dan sedekah pun mengalir setiap harinya.

Hari-hari pun berlalu. Bak mencium bangkai yang disembunyikan dalam lemari, akhirnya Salman mengetahui tabiat asli sang pendeta. Salman menemukan satu fakta bahwa sedekah yang dihimpun oleh pendeta dan nantinya akan digunakan untuk kepentingan fakir-miskin, ternyata ia simpan sendiri dan tidak ia salurkan kepada pihak yang membutuhkan. Total ada sekitar tujuh peti berisi emas dan perak tersimpan di kamar sang pendeta. Hal ini tak urung menyebabkan Salman marah dan merasa dikhianati oleh sang pendeta.

Tak lama berselang sang pendeta pun meninggal dunia dan jemaat-pun sangat merasa kehilangan. Pendeta yang selama ini membimbing rohani mereka, kini telah meninggal. Namun, di tengah lautan tangis jemaat, Salman dengan lantang berbicara kepada mereka bahwa pendeta tersebut adalah orang yang korup. Ucapan Salman tak ubahnya seperti petir di siang bolong. Ucapannya membuat kemarahan publik. Bagaimanakah seorang alim pendeta Nasrani berlaku korup? Bukankah dia yang selama ini menganjurkan buat sedekah?

“wahai! Mengapa kalian habiskan air mata kalian hanya untuk menangisi orang yang penuh dosa dengan sifat korupnya?” tanya Salman.

“apa maksud perkataanmu wahai orang Persia? Bukankah ia telah berbaik hati kepadamu dengan memberikan tempat berlindung dari panas dan hujan? serta mengisi keimananmu dengan berbagai pemahaman Nasrani?” jawab mereka.

“ya, memang benar bahwa dialah yang memberiku tempat tinggal dan menggembalakanku ke jalan yang benar. Namun aku bersumpah dengan mata kepalaku sendiri, dia telah menyimpan tujuh peti emas dan perak harta sedekah untuk kemakmurannya sendiri, sedang di sekitar kita masih banyak sekali fakir-miskin yang amat membutuhkan.”

Kemudian Salman dan para jemaat gereja berbondong-bondong menuju rumah sang pendeta. Salman menunjukan ruang sang pendeta menyimpan harta sedekah selama ini. setelah jemaat melihat kenyataan yang ada di depan mereka, terbitlah perasaan kecewa, marah, dan dikhianati. Pendeta yang selama ini mereka hormati ternyata tak ubahnya tikus yang menguras lumbung padi dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Kemudian pada hari itu juga jemaat menyalib tubuh sang pendeta di tengah alun-alun dan meneriakkan segala sumpah-serapah sebagai luapan emosi kekecewaan.

Sebelum sang pendeta meninggal, Salman sempat meminta wasiat kepada pendeta. Salman bertanya kepada siapa dia harus berguru sepeninggal pendeta tersebut.

“Wahai pendeta, kau telah memberiku tempat yang nyaman sekaligus mengisi hatiku dengan keimanan. Lalu ke manakah aku harus pergi setelah kau meninggal?” tanya Salman.

“Saya punya seorang teman yang saya anggap paling dalam ilmunya dalam memahami ajaran Nasrani. Pergilah engkau ke tepi barat laut Negeri Iraq, dia tinggal di daerah kecil bernama Mosul. Belajarlah kau kepadanya, hanya ini yang bisa saya tinggalkan untukmu,” pesan pendeta kepada Salman.

Setelah tragedi penyaliban pendeta korup Syam, Salman melanjutkan perjalanannya memperdalam keimanan ke kota Mosul sesuai dengan arahan sang pendeta. Kedalaman ilmu pendeta tersebut sesuai dengan perkataan pendeta di Syam.

Salman sangat menikmati hidup di kota ini. Iklim yang sedang, masyarakat yang ramah, dan peradaban yang maju menjadikan kota ini menjadi salah satu kiblat peradaban dunia pada waktu itu. Disinilah Salman memulai babak kedua dalam perjalannya mencari kebenaran. Pendeta tempat ia tinggal di Mosul sangat baik dan sangat dalam pemahamannya soal agama Nasrani. Di negeri sungai Tigris ini Salman mendapatkan banyak hal, terutama soal kerohanian. Namun tak lama berselang pendeta itupun meninggal dunia. Salman merasa terpukul atas meninggalnya sang pendeta. Kedekan antara Salman dan pendeta tak ubahnya seperti kedekatan anak dengan orang tua. Tak ayal hal ini yang membuat Salman terpukul atas meninggalnya sang pendeta.

Sebelum pendeta tersebut meninggal, Salman sempat meminta petunjuk kepadanya. Dia bertanya kemanakah ia harus pergi selepas pendeta tersebut meninggal. Sang pendeta kemudian memberi rujukan kepada Salman untuk menuju ke kota Nashibin. Sebuah kota diantara Mosul dan Syam.

Pendeta di kota Nashibin sama baiknya dengan pendeta yang ada di Mosul, beliau mengajari Salman segala hal tentang agama Nasrani. Bahkan sangking eratnya hubungan pendeta dengan Salman, Salman menganggap ahwa pendeta itu adalah keluarganya sendiri.

Namun pengalaman itu tidak berselang lama karena sang pendeta meninggal dunia. Hal ini membuat Salman sedih. Mata air yang selama ini menyirami hatinya dengan ajaran Nasrani telah meninggal dunia. Sama seperti pendeta-pendeta sebelumnya, Salman meminta wasiat kepada pendeta tentang kepada siapa selanjutnya dia akan berguru? Kemudian pendeta tersebut menganjurkan Salman untuk pergi menemui sahabatnya ke negeri Romawi, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Amuriyah.

Amuriyah bisa dibilang daerah kecil yang damai. Amuriayah pada masa itu masih di bawah kekuasaan Romawi dengan Nasrani sebagai agama mayoritas. Setelah melewati berbagai perjalanan yang  melelahkan, akhirnya Salman sampai di depan rumah pendeta kenalan pendeta Nashibin.

“Wahai pendeta, aku adalah murid temanmu, pendeta Nashibin. Dia memberiku wasiat untuk belajar agama Nasrani kepadamu,” tutur Salman.

“Baiklah, karena temanku sendiri yang meminta demikian maka aku akan menerimamu,” jawab pendeta Amuriah.

“Namun saya tidak punya tempat yang layak untuk kau tinggali, makanan yang enak untuk kau santap, maupun ilmu yang lebih untuk kau pelajari,” tambahnya.

Salman menyepakati perkataan pendeta tersebut, meski demikian apa yang diberikan oleh pendeta itu melebihi apa yang dia ucapkan. Semasa di Amuriyah Salman mendapat perlakuan yang sangat baik. Tempat tinggal yang layak, makanan yang layak, dan pengajaran kerohanian Nasrani yang baik adalah hal yang terus dikenang oleh Salman.

Hal-hal baik selalu menghampiri Salman selama ia belajar di Amuriyah. Namun seperti yang telah lalu, pendeta Amuriah meninggal dunia. Kini tak ada lagi yang bisa mengajari Salman ajaran Nasrani secara mendalam. Sebelum pendeta tersebut meninggal, Salman meminta wasiat kepada pendeta. Sama seperti yang dia lakukan kepada pendeta-pendeta sebelumnya.

“Wahai pendeta, sungguh saya sangat berterima kasih kepadamu atas perlakuan yang anda berikan kepada saya. Namun kepada siapa saya harus belajar setelah anda meninggal dunia?” tanya Salman.

“Salman, saya tidak bisa memberi petunjuk kemana kau harus tinggal. Saya tidak mengenal orang yang memiliki pemahaman ajaran Nasrani yang baik selain sahabatku, pendeta Nashibin yang telah meninggal itu,” jawab pendeta.

“Namun di masamu ini akan hadir seorang utusan yang telah dijanjikan. Ia membawa ajaran yang sama dengan ajaran Ibrahim di masa lampau dan akan menjadi lentera kegelapan. Ia datang dari ladang-ladang kurma di lembah tempat bebatuan hitam berada. Kelahirannyamengguncang bumi dan meruntuhkan langit. Sungguh kau adalah orang yang sangat beruntung apabila dapat bertemu dengannya.” lanjutnya.

Kemudian pendeta itu menggambarkan bahwa rasul tersebut akan diutus untuk menyampaikan ajaran tauhid, persis dengan apa yang disampaikan oleh Ibrahim. Ia akan datang dari daerah Arab, kemudian hijrah ke daerah yang diapit oleh dua wilayah yang dipenuhi bebatuan hitam, seolah-olah batu itu hangus dibakar sesuatu. Di tempat ia hijrah terdapat hamparan pohon kurma yang dahannya menunduk karena saking lebatnnya buah yang dihasilkan.

Utusan itu dapat dikenali dengan tanda-tanda  tertentu. Dia akan menerima (memakan) pemberian yang diniatkan sebagai hadiah, tetapi tidak menerima sedekah. Stempel kenabian berada diantara kedua pundaknya. Jika engkau bertemu dengannya, maka berbahagialah engkau karena telah menemukan Lentera Kegelapan akhir zaman.

Sepeninggal pendeta Amuriyah, Salman bertekad untuk mencari manusia yang telah dijanjikan, lentera kegelapan terakhir yang diutus Tuhan.

 

Posting Komentar

0 Komentar