Setibanya di Syam, Salman
merasa bahagia. Ibarat seekor burung
yang menemukan sangkar yang pas untuk tinggal. Akhirnya Salman tinggal
di tanah suci agama samawi. Sesampainya di sana Salman mencari seseorang yang
paling alim dalam memahami ajaran Nasrani. Tibalah dia di depan rumah seorang
tua renta yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai orang yang paling dalam
pengetahuannya tentang ajaran Nasrani. Salman pun mengetuk pintu rumah dan tak
lama berselang keluarlah pendeta tuan rumah dari balik daun pintu. Wajahnya
terlihat tua, beruban, dan penuh kerutan disana sini, namun wajah tua yang ada
dihadapan Salman adalah seorang yang telah makan asam manisnya pengetahuan
kerohanian. Salman dengan lugas menyampaikan kehendaknya.
“apakah anda orang yang
alim di antara para jemaat gereja?” tanya Salman.
“ya, sayalah orang yang
paling paham ajaran Nasrani di daerah ini, Tuhan telah memberikan sebagian dari
pemahaman firmannya kepadaku.” tukas sang pendeta.
“Jika demikian izinkanlah
saya tinggal bersamamu untuk belajar agama Nasrani, sungguh aku adalah hamba
tuhanmu.” Pinta Salman kepada pendeta.
“baiklah kau boleh tinggal
di rumahku. Namun aku memintamu untuk membantuku mengerjakan beberapa hal,”
kata pendeta.
Salman menyanggupi
permintaan pendeta dan iapun tinggal di rumah dan belajar segala hal tentang ajaran Nasrani. Pendeta itupun
sangat baik kepada Salman dan seringkali mengingatkan para jemaat gereja untuk
bersedekah kepada gereja dan nantinya akan disalurkan ke pihak-pihak yang
membutuhkan. Dengan teknik retorika yang sangat lihai, pendeta berhasil
menggaet hati jemaat dan sedekah pun mengalir setiap harinya.
Hari-hari pun berlalu. Bak
mencium bangkai yang disembunyikan dalam lemari, akhirnya Salman mengetahui
tabiat asli sang pendeta. Salman menemukan satu fakta bahwa sedekah yang
dihimpun oleh pendeta dan nantinya akan digunakan untuk kepentingan
fakir-miskin, ternyata ia simpan sendiri dan tidak ia salurkan kepada pihak yang
membutuhkan. Total ada sekitar tujuh peti berisi emas dan perak tersimpan di
kamar sang pendeta. Hal ini tak urung menyebabkan Salman marah dan merasa
dikhianati oleh sang pendeta.
Tak lama berselang sang
pendeta pun meninggal dunia dan jemaat-pun sangat merasa kehilangan. Pendeta
yang selama ini membimbing rohani mereka, kini telah meninggal. Namun, di tengah
lautan tangis jemaat, Salman dengan lantang berbicara kepada mereka bahwa
pendeta tersebut adalah orang yang korup. Ucapan Salman tak ubahnya seperti
petir di siang bolong. Ucapannya membuat kemarahan publik. Bagaimanakah seorang
alim pendeta Nasrani berlaku korup? Bukankah dia yang selama ini menganjurkan
buat sedekah?
“wahai! Mengapa kalian
habiskan air mata kalian hanya untuk menangisi orang yang penuh dosa dengan
sifat korupnya?” tanya Salman.
“apa maksud perkataanmu
wahai orang Persia? Bukankah ia telah berbaik hati kepadamu dengan memberikan
tempat berlindung dari panas dan hujan? serta mengisi keimananmu dengan
berbagai pemahaman Nasrani?” jawab mereka.
“ya, memang benar bahwa
dialah yang memberiku tempat tinggal dan menggembalakanku ke jalan yang benar.
Namun aku bersumpah dengan mata kepalaku sendiri, dia telah menyimpan tujuh
peti emas dan perak harta sedekah untuk kemakmurannya sendiri, sedang di
sekitar kita masih banyak sekali fakir-miskin yang amat membutuhkan.”
Kemudian Salman dan para
jemaat gereja berbondong-bondong menuju rumah sang pendeta. Salman menunjukan
ruang sang pendeta menyimpan harta sedekah selama ini. setelah jemaat melihat
kenyataan yang ada di depan mereka, terbitlah perasaan kecewa, marah, dan
dikhianati. Pendeta yang selama ini mereka hormati ternyata tak ubahnya tikus
yang menguras lumbung padi dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.
Kemudian pada hari itu juga jemaat menyalib tubuh sang pendeta di tengah
alun-alun dan meneriakkan segala sumpah-serapah sebagai luapan emosi
kekecewaan.
Sebelum sang pendeta
meninggal, Salman sempat meminta wasiat kepada pendeta. Salman bertanya kepada
siapa dia harus berguru sepeninggal pendeta tersebut.
“Wahai pendeta, kau telah
memberiku tempat yang nyaman sekaligus mengisi hatiku dengan keimanan. Lalu
ke manakah aku harus pergi setelah kau meninggal?” tanya Salman.
“Saya punya seorang teman
yang saya anggap paling dalam ilmunya dalam memahami ajaran Nasrani. Pergilah
engkau ke tepi barat laut Negeri Iraq, dia tinggal di daerah kecil bernama
Mosul. Belajarlah kau kepadanya, hanya ini yang bisa saya tinggalkan untukmu,”
pesan pendeta kepada Salman.
Setelah tragedi penyaliban
pendeta korup Syam, Salman melanjutkan perjalanannya memperdalam keimanan ke
kota Mosul sesuai dengan arahan sang pendeta. Kedalaman ilmu pendeta tersebut
sesuai dengan perkataan pendeta di Syam.
Salman sangat menikmati
hidup di kota ini. Iklim yang sedang, masyarakat yang ramah, dan peradaban yang
maju menjadikan kota ini menjadi salah satu kiblat peradaban dunia pada waktu
itu. Disinilah Salman memulai babak kedua dalam perjalannya mencari kebenaran.
Pendeta tempat ia tinggal di Mosul sangat baik dan sangat dalam pemahamannya
soal agama Nasrani. Di negeri sungai Tigris ini Salman mendapatkan banyak hal,
terutama soal kerohanian. Namun tak lama berselang pendeta itupun meninggal
dunia. Salman merasa terpukul atas meninggalnya sang pendeta. Kedekan antara
Salman dan pendeta tak ubahnya seperti kedekatan anak dengan orang tua. Tak
ayal hal ini yang membuat Salman terpukul atas meninggalnya sang pendeta.
Sebelum pendeta tersebut
meninggal, Salman sempat meminta petunjuk kepadanya. Dia bertanya kemanakah ia
harus pergi selepas pendeta tersebut meninggal. Sang pendeta kemudian memberi
rujukan kepada Salman untuk menuju ke kota Nashibin. Sebuah kota diantara Mosul
dan Syam.
Pendeta di kota Nashibin
sama baiknya dengan pendeta yang ada di Mosul, beliau mengajari Salman segala
hal tentang agama Nasrani. Bahkan sangking eratnya hubungan pendeta dengan
Salman, Salman menganggap ahwa pendeta itu adalah keluarganya sendiri.
Namun pengalaman itu tidak
berselang lama karena sang pendeta meninggal dunia. Hal ini membuat Salman sedih.
Mata air yang selama ini menyirami hatinya dengan ajaran Nasrani telah
meninggal dunia. Sama seperti pendeta-pendeta sebelumnya, Salman meminta wasiat
kepada pendeta tentang kepada siapa selanjutnya dia akan berguru? Kemudian
pendeta tersebut menganjurkan Salman untuk pergi menemui sahabatnya ke negeri
Romawi, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Amuriyah.
Amuriyah bisa dibilang
daerah kecil yang damai. Amuriayah pada masa itu masih di bawah kekuasaan
Romawi dengan Nasrani sebagai agama mayoritas. Setelah melewati berbagai
perjalanan yang melelahkan, akhirnya
Salman sampai di depan rumah pendeta kenalan pendeta Nashibin.
“Wahai pendeta, aku adalah
murid temanmu, pendeta Nashibin. Dia memberiku wasiat untuk belajar agama
Nasrani kepadamu,” tutur Salman.
“Baiklah, karena temanku
sendiri yang meminta demikian maka aku akan menerimamu,” jawab pendeta Amuriah.
“Namun saya tidak punya
tempat yang layak untuk kau tinggali, makanan yang enak untuk kau santap,
maupun ilmu yang lebih untuk kau pelajari,” tambahnya.
Salman menyepakati
perkataan pendeta tersebut, meski demikian apa yang diberikan oleh pendeta itu
melebihi apa yang dia ucapkan. Semasa di Amuriyah Salman mendapat perlakuan
yang sangat baik. Tempat tinggal yang layak, makanan yang layak, dan pengajaran
kerohanian Nasrani yang baik adalah hal yang terus dikenang oleh Salman.
Hal-hal baik selalu
menghampiri Salman selama ia belajar di Amuriyah. Namun seperti yang telah
lalu, pendeta Amuriah meninggal dunia. Kini tak ada lagi yang bisa mengajari
Salman ajaran Nasrani secara mendalam. Sebelum pendeta tersebut meninggal,
Salman meminta wasiat kepada pendeta. Sama seperti yang dia lakukan kepada
pendeta-pendeta sebelumnya.
“Wahai pendeta, sungguh
saya sangat berterima kasih kepadamu atas perlakuan yang anda berikan kepada
saya. Namun kepada siapa saya harus belajar setelah anda meninggal dunia?”
tanya Salman.
“Salman, saya tidak bisa
memberi petunjuk kemana kau harus tinggal. Saya tidak mengenal orang yang
memiliki pemahaman ajaran Nasrani yang baik selain sahabatku, pendeta Nashibin
yang telah meninggal itu,” jawab pendeta.
“Namun di masamu ini akan
hadir seorang utusan yang telah dijanjikan. Ia membawa ajaran yang sama dengan
ajaran Ibrahim di masa lampau dan akan menjadi lentera kegelapan. Ia datang dari
ladang-ladang kurma di lembah tempat bebatuan hitam berada. Kelahirannyamengguncang
bumi dan meruntuhkan langit. Sungguh kau adalah orang yang sangat beruntung
apabila dapat bertemu dengannya.” lanjutnya.
Kemudian pendeta itu
menggambarkan bahwa rasul tersebut akan diutus untuk menyampaikan ajaran
tauhid, persis dengan apa yang disampaikan oleh Ibrahim. Ia akan datang dari
daerah Arab, kemudian hijrah ke daerah yang diapit oleh dua wilayah yang
dipenuhi bebatuan hitam, seolah-olah batu itu hangus dibakar sesuatu. Di tempat
ia hijrah terdapat hamparan pohon kurma yang dahannya menunduk karena saking
lebatnnya buah yang dihasilkan.
Utusan itu dapat dikenali
dengan tanda-tanda tertentu. Dia akan
menerima (memakan) pemberian yang diniatkan sebagai hadiah, tetapi tidak
menerima sedekah. Stempel kenabian berada diantara kedua pundaknya. Jika engkau
bertemu dengannya, maka berbahagialah engkau karena telah menemukan Lentera
Kegelapan akhir zaman.
Sepeninggal pendeta
Amuriyah, Salman bertekad untuk mencari manusia yang telah dijanjikan, lentera
kegelapan terakhir yang diutus Tuhan.
0 Komentar