Sumber gambar : www.google.com
Oleh: Divisi
Tilawah
Membaca Al-Qur`an
dengan irama dan dilantunkan dengan merdu kerap kali kita dengarkan dalam acara
keagamaan seperti Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, Hajatan dan lain sebagainya. Biasanya masjid-masjid juga memutar kaset tilawah
sebelum adzan maghrib maupun subuh berkumandang. Tetapi titak banyak yang tahu
mengenai sejarah seni melantunkan Al-Qur`an dengan irama yang sering kita
dengarkan.
Seni membaca Al-Qur`an
dengan suara indah dan berirama bukanlah hal yang baru dalam islam. Seni baca Quran
ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW bahkan dipertegas dalam sabda beliau:
زينو القرأن بأصواتكم
Hiasilah Al-Qur`an
dengan suaramu (HR. Abu Daud dan An Nasai)
Membaca Al-Qur`an
dengan suara merdu dan berirama dikenal dengan taghanni atau tilawah. Taghanni
dalam kamus bahasa arab diartikan bernyanyi dengan suara merdu. Maka dapat
disimpulkan bahwa istilah tersebut merupakan anjuran untuk mengeraskan dan
membaguskan suara ketika memabaca Al-Qur`an. Sedangkan mempelajari ilmu seni baca Al-Qur`an dengan berirama
disebut ilmu nagham.
Keberadaan ilmu
nagham, tidak sekedar mempraktekan firman Allah sebagaimana termaktub
dalam surah Al Muzzammil ayat 4, ”Bacalah Al Quran itu secara tartil”,
tetapi disini ada campur tangan manusia sebagai makhluk yang mempunyai budaya
dan memiliki cipta, rasa, dan karsa.
Manusia pula yang melahirkan seni (termasuk nagham) merupakan
bagian yang merekat dalam kehidupan
manusia yang didorong oleh adanya daya kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu
sendiri timbul karena didorong oleh karsa rohaniah dan pikiran manusia
muslim dan kemudian menciptakan irama dalam membaca Al-Qur`an.
Meskipun taghanni kerap diartikan dengan membaguskan suara
bacaan Al-Qur`an, namun kalangan ulama berbeda pendapat dalam mejelaskan makna
kata tersebut. Beberapa dari mereka mengatakan, taghanni sama maknanya
dengan tartil yang berarti membaca Al-Qur`an secara perlahan dan tanpa
tergesa-gesa.
Sebagian ulama
lainnya berpendapat, taghanni tidak sekadar diartikan membaca Al-Qur`an secara
tartil, tetapi juga dengan mengamati aturan tajwid dan mempercantik suara
bacaan. Ada pula ulama yang menyatakan bahwa taghanni berarti membaca Al-Qur`an
dengan hati yang senang. Kendati berbeda pendapat mengenai arti kata taghanni,
namun semua ulama sepakat bahwa “Membaca Al-Qur`an dengan suara yang indah
merupakan amalan yang dianjurkan," ujar pakar Islam asal Turki, Mehmet
Paksu, dalam ulasannya Reciting the Qoran with Taghanni.
Dalam suatu hadits disebutkan anjuran untuk membaca Al-Qur`an dengan
suara indah:
ليس منا لم يتغن
بالقرأن
Barang siapa
yang tidak memperindah bacaan Al-Qur`an maka
ia bukan dari golongan kami (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Mengapa dianjurkan?
dan apa yang dimaksud dengan tidak termasuk golongan kami bagi orang yang tidak
memperindah membaca Al-Qur`annya?
Imam Nawawi
menuturkan semua ulama sepakat tentang anjuran memperindah suara dalam membaca Al-Qur`an
tetapi harus ada batasannya yaitu sesuai dengan tajwid dan tidak menambahi atau
mengurangi huruf apabila kedua hal tersebut dilanggar maka bacaan seperti itu
menjadi haram hukumnya.
Seperti yang dikutip menurut
pendapat Imam Nawawi dalam kitab at Tibyan:
أجمع العلماء من
السلف والخلف من الصحابة والتابعين ومن بعدهم من علماء الأمصار أئمة المسلمين على
استحباب تحسين الصوت القرأن
Para ulama
salaf maupun generasi seelahnya dikalangan para sahabat maupun tabi’in dan para
ulama dari berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan Al-Qur`an (at Tibyan 109).
Dikutip dari
kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud menyebutkan yang dimaksud dengan tidak
termasuk golongan kami orang yang tidak memperindah bacaan Al-Qur`an
ditafsirkan dengan dua arti. Pertama,
tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak membaguskan bacaan Al-Qur’an. Kedua,
tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mencukupkan dengan Al-Qur’an
dari selainnya.
Awal mula irama
dan lagu dalam bacaan Al-Qur`an mulai dilakukan, tidak diketahui secara pasti.
Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menyenandungkan Al-Qur`an
dengan irama yang indah adalah Rasulullah SAW sendiri. Hal ini tidak terlepas dari budaya Arab sebelum Nabi Muhammad SAW lahir.
Orang-orang Arab sudah mengenal kesenian musik dan syair (sastra) yang diwarisi
dari nenek moyang mereka. Tradisi tersebut terus berlanjut ketika
Rasulullah menyampaikan misi risalahnya di tengah-tengah masyarakat Arab.
Mereka yang
jatuh cinta kepada Islam lalu mengaplikasikan handasah al-shaut dalam
bacaan Al-Qur`an. Dengan kata lain, dalam konteks ini telah terjadi Islamisasi
terhadap seni suara yang dipraktikkan oleh orang-orang Arab sejak era
pra-Islam. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan nagham-nagham
(lagu) Al-Qur`an pada era selanjutnya.
Mengutip thesis
karya Husni Thamrin, Nagham Al-Qur`an: Telaah atas Kemunculan dan
Perkembangannya di Indonesia, menuturkan, kesenian masyarakat Arab
pra-Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam seni tilawah Al-Qur`an. Seni suara
yang dalam tradisi Arab disebut handasah al-shaut diadopsi dalam bacaan Al-Qur`an
secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Syair-syair
Arab yang pada awalnya berisi tentang kisah kehidupan, berganti menjadi syair
pujian dan shalawat, yang pada akhirnya menempatkan Al-Qur`an berada di lapisan
teratas dalam piramida tradisi handasah al-shaut pada masa Islam.
Transformasi
Penerapan nagham
sebagai unsur estetika dalam bacaan Al-Qur`an sudah tumbuh sejak periode awal
Islam. Kendati demikian, sulit untuk melacak seperti apa proses perkembangan nagham
tersebut hingga memunculkan berbagai bentuk variannya seperti yang kita
dapati hari ini. Hal itu disebabkan tidak adanya bukti yang dapat dikaji.
Tidak ada
catatan sejarah yang menjelaskan perkembangan nagham Al-Qur`an setelah
era tabi'in. Namun, kalangan akademisi Islam meyakini bahwa, transformasi seni
baca Al-Qur`an berlangsung secara sederhana dan diwariskan turun-temurun dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Bila ditelusuri
dari definisinya, ilmu nagham dikhususkan untuk mempelajari seni irama
dan lagu-lagu Al-Qur`an. Berbeda dengan ilmu qira`ah yang lebih difokuskan kepada cara membaca Al-Qur`an
dengan benar dan tepat. Meski berbeda definisi, dalam praktiknya ilmu nagham
tidak boleh menyalahi ilmu qira`ah.
Pada abad ke-20,
Mesir telah menjadi inspirasi dan merupakan pusat lahir dan berkembangnya
budaya maqamat Al-Qur`an yang penuh harmoni. Di samping itu, negeri
piramida itu juga menempatkan dirinya sebagai saringan yang memisahkan antara
musik dan qira`ah maqamat nagham Al-Qur`an.
"Qari-qari
yang lahir di Mesir, seperti Syekh Muhammad Rif'at (1882- 1950), Syekh Mustafa
Ismail (1905-1978), dan Syekh Abdul Basit Abdul-Samad (1927-1988) mampu
menunjukkan kepada dunia bahwa nagham adalah nyawa dari bacaan Al-Qur`an,"
ungkap M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham Alquran: Telaah atas
Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia. Oleh Ahmad Islamy
Jamil.
Beberapa metode
yang digunakan dalam mewariskan ilmu nagham Al-Qur`an dari masa ke masa
adalah sima'i (mendengar), talaqqi (menerima dan mengambil
pelajaran lewat bimbingan seorang guru), dan musyahafah," ungkap
Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jawa Timur Abdul Hamid
Abdulloh, dalam karya tulis Makna dan Tujuan MTQ.
Sampai pada Hari
ini, para qari di dunia sudah tidak asing lagi dengan "delapan maqamat
quraniyyah" atau juga biasa dikenal dengan "delapan nagham
Al-Qur`an ". Kedelapan varian nagham tersebut ialah Bayyati
(Husaini), Sika, Shoba (Maya), Rasta alan nawa, Hijazi (Hijaz), Jiharkah,
Nahawand (Iraqi), dan Banjaka (Rakbi).
Ragam-Ragam Nagham Al-Qur`an
Seni baca Al-Qur`an
dengan irama baru menampakkan geliatnya pada awal abad ke-20 yang berpusat di
Makkah dan Madinah. Di Indonesia sendiri ebagai negeri berpenduduk mayoritas
Muslim sejak awal abad 19 M para tokoh muslimnya sangat aktif mentransfer
ilmu-ilmu agama (termasuk nagham).
Dikutip dari
artikel karya Ahmad Islamy Jamil setidaknya ada 4 varian lagu yang berasal
dari hijaz (Makkah dan Madinah) yaitu lagu Banjakah, Hijaz, Maya, Rakby,
Jiharkah, Sika, dan Dukkah. Sementara, dalam tradisi Misri (Mesir) terdapat 7
varian lagu seperti Bayyati, Hijaz, Shobah, Rashd, Jiharkah, Sika, dan
Nahawand. Hingga hari ini, Makkah dan
Mesir merupakan kiblat nagham dunia. Masing-masing kiblat memiliki
karakteristik tersendiri. Dalam tradisi Makkawi (Makkah).
Berikut adalah macam- macam varian lagu tilawah Al-Qur`an yang
populer di Indonesia:
1. Bayyati
Setiap bentuk
susunan lagu tilawah Al-Qur`an, terutama yang bersifat formal, selalu diawali
dan diakhiri dengan irama Bayyati. Lagu Bayyati penutup terdiri dari dua bentuk
dan dua tingkatan suara, yaitu Jawab dan Jawabul Jawab.
2. Shobah (Maya)
Lagu Shobah
terdiri dari lima bentuk dengan tiga variasi, yaitu Ajami, Mahur, dan
Bastanjar. Sementara, untuk tingkatan suaranya ada dua, yakni Jawab dan Jawabul
Jawab.
3. Hijazi (Hijaz)
Lagu ini
terdiri dari tujuh bentuk dan empat variasi, yaitu Kard, Kard- Kurd, Naqrisy,
dan Kurd. Sementara, bentuk tingkatan suaranya ada tiga, yakni Jawab, Jawabul
Jawab, dan Qarar.
4. Nahawand
Lagu Nahawand
terdiri dari lima bentuk dan dua selingan, yaitu Nuqrasy dan Murakkab.
Ciri-ciri variasi Nuqrasy adalah bernada rendah (turun) sedangkan variasi
Murakkab bernada tinggi (naik). Adapun tingkat suara Nahawand ada dua, yakni
Jawab dan Jawabul Jawab.
5. Sika
Lagu Sika
terdiri dari enam bentuk dan empat variasi, yaitu Misri, Turki, Raml, dan Uraq.
Sementara, tingkatan suaranya ada tiga, yakni Qarar, Jawab, dan Jawabul Jawab.
6. Rast dan Rasta 'alan Nawa
Lagu Rast dan
Rasta 'alan Nawa selalu berhubungan satu sama lainnya. Jika bacaan dimulai
dengan lagu Rast maka mesti dilanjutkan (disambung) dengan Rasta 'alan Nawa.
Jenis lagu ini terdiri dari tujuh bentuk dan tiga variasi, yaitu Usyaq,
Zanjiran, dan Syabir 'ala ar- Ras. Sementara, tingkat suaranya ada dua, yakni
Jawab dan Jawabul Jawab.
7. Jiharkah
Lagu Jiharkah
terdiri dari empat bentuk dan satu variasi, yaitu Kurdi. Sementara, tingkatan
suaranya ada dua, yaitu Jawab dan Jawabul Jawab.
8. Banjaka
Lagu
Banjaka/Rakbi dikhususkan untuk lagu-lagu dalam bacaan tartil Al-Qur`an dan
nyanyian Qasidah saja. Lagu jenis ini jarang sekali (dan bahkan hampir tidak
pernah sama sekali) dipakai dalam bacaan.
Wallahu A’lam.
0 Komentar