Agama Islam sangat memperhatikan problem-problem yang berkaitan dengan dimensi moralitas. Al-Quran juga mengajarkan kita tentang dimensi moralitas seperti tolong-menolong dalam surah al-Maidah ayat 2 yang artinya: ”Dan tolong menolonglah kamu (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Rasulullah dalam haditsnya pun mengajarkan kepada umatnya untuk memberikan pendidikan moral. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ayyub bin Musa, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “ Tidak ada pemberian yang lebih berharga dari seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama dari pada pemberian budi pekerti yang baik.”
Dimensi moralitas sering kali dianggap sebagai tolok ukur atau sebagai manifestasi keberhasilan dalam pendidikan. Untuk saat ini, Tidak sedikit instansi pendidikan yang sudah menerapkan kurikulum tentang pendidikan moral kepada siswa. Dalam berbagai praktiknya sekolah-sekolah yang bermerek keagamaan pun sudah menyebar sangat luas. Tercatat pada tahun 2018, Indonesia memiliki sekitar 47.221 sekolah Islam baik negeri maupun swasta. Jumlah pondok pesantren di Indonesia pun juga banyak, menurut laporan Kementrian Agama ada sekitar 26.975 pondok pesantren di Indonesia per-Januari 2022.
Namun, realitanya tidaklah selalu sebagaimana yang diidealkan. Salah satu problem vital yang kini melanda pendidikan di Indonesia adalah dimensi moralitas. Tidak sedikit kasus demoralitas yang ditemukan dalam dunia pendidikan, bahkan di dunia pendidikan (sekolah) Islam sekalipun ternyata berkembang berbagai perilaku yang tidak sesuai bahkan bersifat kontradiktif dengan ajaran Islam. Bentuk demoralitas ini bermacam-macam, mulai dari perilaku para ustadz/ustadzah atau para pendidik yang tidak mencerminkan jiwa kependidikan, birokrasi yang tidak sesuai, bisnis atau money politic, kekerasan, hingga pelecehan seksual.
Sebagai contoh adalah fenomena kekerasan yang sering terjadi di kalangan pondok pesantren. Sorotan tajam dalam hal ini pernah dialami Ponpes Darul Qur’an Lantaburo di Kelurahan Ketapang, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Seorang santri berinisial RAP yang berusia 13 tahun meninggal dunia setelah dikeroyok 12 santri lainnya. Selain di Ponpes Darul Qur’an, di Tangerang juga pernah terjadi kasus yang serupa. Pada tanggal 7 Agustus 2022, seorang santri Ponpes Daar El-Qolam yang berinisial RE meninggal dunia setelah berkelahi dengan teman sesama pondok.
Kasus kekerasan juga terjadi di Ponpes Darussalam Gontor. Santri yang berinisial AM yang berusia meniggal dunia disebabkan penganiayaan yang dilakukan oleh seniornya. Kasus ini terungkap ketika ibu korban mengadu kepada pihak yang berwajib. Ibu korban merasa kecewa karena pihak pondok pesantren tidak mengungkap penyebab kematian anaknya tersebut. Sang ibu mendapati jenazah anaknya penuh dengan luka lebam. Setelah itu, polisi mulai mengusut kasus penganiayaan yang berujung maut tersebut.
Kekerasan demi kekerasan tampaknya menjadi masalah kelam bagi pendidikan Islam. Jika dicermati dari berbagai berita di media massa, akan sering ditemui berita tentang kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita. Dilihat dari tingkatannya, kekerasa dapat dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat ringan (violence as potential). Secara umum kekerasan yang terjadi pada tingkat ini bersifat tertutup (convert), kekerasan defensive, pelecehan martabat, unjuk rasa, pelecehan martabat, dan penekanan psikis. Kedua, kekerasan tingkat sedang, yang menunjukkan perilaku kekerasan dalam dunia pendidikan (education violence). Indikator kekerasan tingkat ini meliputi kekerasan terbuka (overt), terkait dengan fisik, pelanggaran terhadap aturan sekolah/kampus, dan membawa simbol atau nama sekolah. Ketiga, yaitu kekerasan tingkat berat atau tindak criminal (criminal action). Pada level ini, kekerasan berbentuk ofensif, ditangani oleh pihak yang berwenang, diselesaikan melalui jalur hukum, dan berada di luar kewenangan pihak sekolah/kampus.
Selain kasus kekerasan, pendidikan Islam juga sempat menjadi sorotan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di dunia pondok pesantren. Herry wirawan, seorang guru Pesantren Madani Boarding School dan juga sebagai pemilik Ponpes Tahfidz Madani yang berada di Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, melakukan tindakan keji terhadap 13 santriwatinya. Menurut Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) hal ini mulai terungkap saat salah satu korban pulang kampung untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri. Saat itu orang tua korban melihat perubahan pada anaknya, sampai diketahui bahwa anaknya tengah hamil. Kemudian orang tua korban melaporkan hal tersebut kepada Polda Jabar dengan pendampingan kepala desa setempat.
Tindakan yang dilakukan Herry Wirawan ini sungguh sangat bejat dan jauh dari ajaran agama. Kejahatan yang dilakukannya meninggalkan banyak trauma psikologi dan mental, para korbannya pun harus menanggung beban menjadi orang tua pada usia yang masih belia. Tercatat ada 9 bayi yang lahir dari para korban. Salah satu korban sampai melahirkan dua anak dari perbuatan keji guru pesantren tersebut yang padahal usianya baru 14 tahun.
Kejadian-kejadian tersebut secara langsung mencoreng wajah pendidikan Islam di Indonesia. Dari masa ke masa selalu saja muncul berita tentang kasus demoralisasi. Kritik, komentar, saran, hingga kebijakan telah dibuat untuk mencegah, namun pada kenyataannya kasus demoralisasi tetap saja berlangsung. Saat ini banyak santri, guru, atau ustadz yang mendapat legitimasi oleh masyarakat sebagai orang yang lebih paham akan agama Islam malah pada kenyataannya tidak mencerminkan sikap seorang muslim yang baik. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi penerang ternyata masih menyimpan sisi gelap tersendiri. Kurangnya komitmen kepada syariat atau ajaran agama menjadi faktor mudahnya seseorang untuk terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang. Kurangnya tingkat keberanian dan berpikir kritis para santri juga menjadi faktor lemahnya fondasi pemahaman agama.
Oleh: Galang Jalaluddin, Mahasiswa UIN Walisongo Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
0 Komentar