Menjadi Haamil yang Berkerangka Pikir Qur’ani

 

Menjadi penghafal al Qur’an tentunya menjadi dambaan setiap umat Islam. Beragam keistimewaan dan kemuliaan menjadikan penghafal al Qur’an sangat dihormati. Islam sendiri juga menghormati penghafal Al Qur’an dengan memberikan segudang keutamaan diantaranya balasan surga di akhirat, jasad yang utuh ketika wafat, dan lain sebagainya.

Hafidz atau disebut juga Haamilul Qur’an menjadi penjaga kemurnian al Qur’an dari setiap bentuk usaha memalsukan teks al-Qur’an. Oleh karena itu seorang Haamil mempunyai kewajiban untuk menjaga hafalannya dengan tujuan agar kemurnian al Quran tetap terjaga. Namun menghafal teks tanpa memahami value yang disampaikan tersirat dalam al Qur’an juga tidak cukup. Oleh karena itu seorang Haamil yang ideal adalah Haamil yang tidak hanya hafal, namun juga memahami value yang disampikan dalam al Qur’an.

Menurut Arja’ Imroni, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, pada zaman keemasan Islam masa lampau banyak ulama seperti Imam Sayafii, Hambali, Maliki, dan Hanafi memulai perjuangan menimba ilmu dengan menghafal al Qur’an. Ulama dahulu berpandangan bahwa al Qur’an harus dijadikan pondasi keilmuan sebelum menimba ilmu yang lain. Hal ini karena al Quran menyimpan semua ilmu yang ada sampai saat ini.

Namun ironisnya, di zaman sekarang banyak sekali penghafal al Qur’an yang merasa cukup dengan hanya menghafal saja tanpa diimbangi dengan keilmuan di bidang lainnya. Terpolarisasinya keilmuan Islam kedalam ilmu agama dan ilmu umum menjadi sebab paradigma tersebut berkembang luas dikalangan umat Islam abad ini. sikap dikotomi antar keilmuan ini mungkin menjadi salah satu penyebab besar mengapa umat Islam kalah dengan bangsa Eropa yang peradabannya semakin maju. Mohammad Natsir dalam bukunya “Capita Selecta” menjelaskan bahwa masa keemasan Islam pada masa daulah Umayyah dan Abbasiyah bisa tercapai karena harmonisasi keilmuan agma (Islam) dengan ilmu umum (ilmu sosial, sains, dll).

Untuk menjadi Haamil yang ideal setidaknya ada dua keilmuan yang harus ditekuni dengan serius. Dua keilmuan itu yakni ilmu ulama’ salaf dan ilmu ulama’ kholaf. Dengan menguasai kedua bidang keilmuan ini Haamil diharap mampu mendalami makna al Qur’an.

Ilmu ulama’ salaf  di atas merupakan dasar yang paling utama dalam memahami al Qur’an. Ilmu ulama’salaf meliputi ilmun nahwu (gramatika bahasa Arab), shorof, mantiq (ilmu logika), ilmu badi’, dan sebagainya. Ilmu ulama’ salaf tak ubahnya seperti pondasi pada sebuah bangunan. Apabila pondasinya kuat, maka bangunan di atas juga kuat. Sebaliknya apabila pondasi tersebut tidak kuat, maka bangunan yang dibangun akan roboh. begitu pula yang akan terjadi pada Haamil yang tidak membekali dirinya dengan ilmu salaf. Maka ketika Haamil tersebut diminta untuk menjelaskan ayat yang dia hafal maka ia akan kesulitan karena tidak mapan dalam keilmuan salaf.

Sangat bahaya sekali ketika seorang Haamil tidak memahami ilmu salaf. Hal ini karena ilmu salaf berfungsi sebagai bekal untuk memahami dan mengoreksi bacaan al Qur’an. Apabila dalam membaca saja sudah salah, maka makna yang ada juga ikut berubah. Alih-alih mendapat pahala, Haamil malah mendapat dosa karena merubah makna al Qur’an.

Ilmu kedua yang harus dikuasai oleh Haamil adalah ilmu ulama’ kholaf atau ulama’ masa kini. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu-ilmu umum yang jamak diajarkan di sekolah formal mulai dari SD hingga bangku perkuliahan seperti biologi, astronomi, ilmu politik, fisika, hingga nano teknologi.

Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berisi perintah untuk membaca, namun Allah tidak memberi batasan tentang apa yang harus dibaca. Emha Ainun Nadjib berpendapat bahwa frasa membaca tanpa adanya pembatas ini diartikan bahwa umat Islam harus membaca ayat Qouliyah (ayat al Qur’an) dan ayat Kauniyah (realitas gejala alam) yang terdapat di alam semesta.

Ayat Qouliyahi seolah menjadi rambu bagi umat Islam untuk membuka tabir keilmuan yang bertebaran di jagad semesta ini. Dengan berbekal pemahaman teks yang mapan akan menghasilkan pemahaman yang konkrit terhadap maksud al Qur’an. Dan ilmu ulama’ kholaf menjadi bekal bagi Haamil untuk mencari dan membuktikan kemukjizatan al Qur’an sekaligus merangkai ayat-ayat Kauniyah yang selama ini bertebaran di alam semesta menjadi satu ilmu. Dengan memahami ayat Qouliyah dan Kauniyah barulah seorang Haamil bisa dikatakan berkerangka pikir secara Qur’ani.


Posting Komentar

0 Komentar