Belajar Nasionalisme dari Sultan Agung; Sang Raja Mataram Islam

Sumber gambar : tribunnweswiki.com


Oleh : Mukti Bagus Panuntun*

Berkembangnya zaman akan selalu berubah dan sulit diprediksi. Begitupula kondisi pasang surut sosial, politik, dan ideologi sebuah negara. Dalam menjaga kestabilan sebuah negara diperlukan komitmen dan loyalitas dari warganya. Diperlukan nasionalisme yang kuat agar tiap individu tak goyah jika ada pengaruh buruk yang masuk. Paham-paham radikal akan selalu mencari celah untuk melancarkan nafsunya seperti bermain politik berbalut agama sampai konspirasi sejarah agama yang akhir-akhir ini geger di media sosial.  

Alhamdulilah masyarakat Indonesia sekarang semakin kritis dibantu dengan melek teknologi sehingga dapat diantisipasi. Namun sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tidak mustahil jika paham radikal tersebut mempunyai peluang sehingga dapat memperbesar pengaruhnya. Untuk semakin memperkokoh keimanan dan cinta tanah air perlu untuk mempelajari sejarah. Karena para pendahulu kita sudah meninggalkan pelajaran nasionalisme yang luar biasa bagi bangsa Indonesia tak terkecuali tokoh-tokoh muslim.

Mereka menjadi garda terdepan dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatallil alamin serta kegigihan dalam memerjuangkan kemerdekaan. Sudah sangat banyak kejadian-kejadian luar biasa, memakan waktu lama serta rasa pedih yang dialami bangsa Indonesia sehingga pada akhirnya negara ini dapat merdeka dan berdikari. Sangat mustahil jika setiap tokoh Islam nusantara tidak melibatkan rasa nasionalisme yang kuat sehingga dapat memerjuangkan negara ini dari penjajahan.

Salah satu tokoh Islam yang terkenal dalam perjuangannya melawan penjajah adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram Islam ketiga yang memerintah pada tahun 1613-1645 M. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah ketika Sultan Agung menyerang ke Batavia dengan prajurit-prajurit dari berbagai kerajaan lain. Karena tahu bahwa di Jawa terdapat beberapa kerajaan berskala kecil dengan perbedaan sistem, maka solusi terbaiknya adalah dengan menyatukan kerajaan-kerajaan tersebut yang nantinya bersatu di bawah panji kerajaan Mataram guna melawan VOC Belanda di Batavia. Selain menambah armada prajurit kerajaan, wilayah-wilayah kerajaan kecil otomatis menjadi tempat persinggahan dan dijadikan lumbung pangan untuk mencukupi kebutuhan prajurit serta rakyatnya.

Dari besarnya potensi kerajaan Mataram untuk menaklukan VOC Belanda tak semudah yang diperkirakan karena tentara VOC cerdik dalam menangani ambisi prajurit Mataram. Mereka membakar lumbung-lumbung pangan persediaan yang mengakibatkan prajurit mengalami kegelisahan akhirnya terjadi kekalahan. Dari kekalahan tersebut disitulah nasionalisme diuji berlipat ganda karena rasa nasionalisme yang sudah dipupuk sebelum perang nyatanya harus menerima kekalahan. Para prajurit terpaksa tidak pulang ke Mataram karena bekal mereka sudah habis, yang kemudian menyebar di Batavia dan membawa pengaruh ajaran Islam dari Mataram. Seiring berjalannya waktu para prajurit inilah yang menjadi cikal bakal sebab terusirnya tentara Belanda dari tanah Batavia.

Dari kejadian tersebut kita bisa belajar bahwa nasionalisme harus tetap tertanam pada jiwa walau gagal dengan cara yang sudah dipersiapkan secara matang dan terbaik. Karena pasti ada cara lain asal komitmen dan terus bergerak. Ajaran-ajaran yang Sultan Agung buat seperti model pendekatan budaya dan agama sukses mengislamkan orang-orang di tanah Jawa dan rasa nasionalisme. Apalagi di masyarakat akar rumput masih kuat dalam memegang ajaran tersebut karena sudah terbukti ratusan tahun dapat menjaga kondisi negara ini dari guncangan-guncangan yang terjadi baik dari faktor internal maupun eksternal.

Situasi dan kondisi dari tahun ke tahun akan selalu berubah. Akan ada di suatu saat ancaman datang untuk mengganggu persatuan. Jika dulu ancamannya menggunakan fisik secara langsung seperti penjajahan dari negara luar, zaman sekarang lebih ke pengaruh halus melalui doktrinisasi ideologi. Pemaksaan ideologi yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakatnya mampu memporak porandakan suatu bangsa jika ideologi tersebut lebih besar dari ideologi yang diyakini sebelumnya melemah. Sultan Agung telah mengajarkan melalui kebijakannya mengasimilasi kalender serta ajaran Jawa dengan ajaran Islam sehingga bukan hanya di terima masyarakat namun semakin menguatkan jatidiri mereka terhadap budaya serta ajaran yang mampu membawa keselamatan dunia dan akhirat. 

Penjajahan model doktrinisasi ideologi sangat berbahaya karena dapat mengadu domba warga sipil yang berbeda paham, kemudian menghalalkan segala cara agar apa yang ia dan golongannya yakini dapat menguasai suatu wilayah tersebut. Dengan gaya yang radikal maka tak heran jika pembunuhan, tangisan, dentuman senjata akan terjadi. Bapak bangsa Ir. Soekarno pernah berkata bahwa tugas kita sekarang lebih berat karena harus menjaga kestabilan negara dari susupan luar yang dapat memecah belah persatuan. Sudah sepatutnya bagi kita memelajari nasionalisme tokoh-tokoh Islam zaman dulu dalam memerjuangkan negara ini sehingga tetap aman damai sampai sekarang. Karena identitas agama tak selalu dari budaya dimana ia dilahirkan namun pemahaman makna dan nilai ajaran yang matang akan melahirkan ijtihad sehingga tetap selaras dengan tujuan agama yakni keselamatan dunia akhirat.    

*Penulis adalah anggota JQH 2016 sekaligus Koordinator Humas 2018/2019

 


Posting Komentar

0 Komentar