Sumber Gambar : beritaislam.org
Oleh : Mukti
Bagus Panuntun*
Di tengah kondisi
sekarang ini, sudah
seharusnya kita prihatin
atas menyebarnya wabah virus Covid19 yang menggegerkan dunia. Efeknya luar
biasa, kota-kota di berbagai dunia di-lokcdown, segala aktivitas dibatasi, acara-acara besar maupun kecil yang
sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dibatalkan. Belum lagi kebijakan pemerintah
yang tidak tepat dalam menghadapi pendemi ini berujung kacau. Aktivitas ekonomi
lumpuh membuat inflasi semakin bertambah. Meskipun jenis virus ini tergolong baru namun pola peyebaran dan
menyerangnya kurang lebih pernah terjadi pada masa lalu.
Dalam sejarah Islam, kita bisa mengambil banyak
hikmah. Tidak hanya sekadar menikmati kehebatan masa lalu, tetapi belajar dari musibah di zaman dulu juga perlu agar tidak terulang kembali di zaman kita. Apalagi dalam bab bencana,
ternyata ulama kita banyak menulis buku-buku tentang treatment
menghadapi bencana.
Dr. Ali
Muhammad Audah menghimpun 24 kitab sepanjang zaman yang mengisahkan bagaimana
umat mengalami bencana, dalam hal ini
wabah penyakit dan bagaimana pemerintah mereka melakukan penanggulangannya.
Salah satu pelajaran penting yang perlu kita garis bawahi adalah kisah yang ditulis
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani.
Dalam kitabnya,
'Badl Al Maun fi Fadhli At Tha'un', Imam Ibnu Hajar mengisahkan bahwa tahun 749
Hijriah atau sekitar tahun 1348 Masehi, terjadi wabah penyakit menyerang Kota Damaskus.
Banyak ulama memberi arahan agar manusia tidak
berkumpul dan menjauhi keramaian. Namun apa yang terjadi? Orang-orang tidak mendengarkan, mereka justru keluar menuju lapangan
luas, disertai para petinggi negara. Memanjatkan doa dan meminta pertolongan
Allah secara beramai-ramai. Tetapi wabah itu
malah semakin besar, padahal sebelum mereka berkumpul,
korbannya hanya sedikit.
Imam Ibnu Hajar
pun mengisahkan apa yang terjadi di eranya. Pada saat itu sebuah wabah
menjangkiti Kairo tanggal 27 Rabiul Akhir tahun 833 Hijriah (tahun 1430
Masehi). Awalnya korban meninggal kurang dari 40 orang, namun kemudian
orang-orang keluar ke tanah lapang pada 4 Jumadil Ula setelah sebelumnya
melakukan puasa tiga hari sebagaimana yang mereka lakukan ketika akan shalat istisqa’. Mereka
berkumpul untuk berdoa kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tidak sampai sebulan setelah mereka berkumpul,
jumlah korban malah meningkat menjadi 1000 orang per hari dan terus bertambah.
Beberapa orang ketika itu asal memberi fatwa, bahwa berkumpul untuk berdoa itu perlu karena beranggapan "umumnya
begitu", ada juga yang bilang bahwa dulu di zaman seorang raja bernama Al
Muayyad hal itu terjadi dan wabah bisa hilang. Jama'ah dari ulama kala itu
memberi fatwa bahwa tidak berkumpul adalah hal yang utama untuk menghindari
fitnah penyakit.
Di saat-saat
genting seperti ini, sangat penting bagi kita untuk mengikuti arahan ulama dan ahli medis. Jika hanya bermodal
semangat tanpa ilmu, maka akan lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki. Lebih parahnya lagi, minimnya edukasi dari dokter disertai seringnya
membaca atau melihat berita yang kian hari kian membawa kepanikan akan berujung
memperparah situasi. Dengan kita merasa panik dan khawatir maka sistem imun
tubuh akan menurun. Sehingga ketika sistem imun lemah maka penyakait dengan
mudah akan menyerang kita. Padahal sistem
imun yang kuat justru bisa membunuh
penyakit secara otomatis.
Cara agar
memperkuat sistem imun tubuh diantaranya dengan berusaha menenangkan jiwa
agar emosi dan batin kita terkontrol.
Usahakan merasa bahagia, perasaan senang yang ditimbulkan membentuk daya imun
semakin kuat sehingga bisa melawan penyakit-penyakit yang ada dalam tubuh. Kita
hanya takut pada Allah, tak takut pada corona. Betul, sangat betul. Karena takut pada Allah maka laksanakanlah sunnatullah
yang perlu diikhtiarkan.
Imam Al Quthubi rahimahullah pernah
berkata, "Ada 4 yang
menyelamatkan sebuah negeri dari bencana. Pertama, pemimpin yang adil dan tak zalim. Kedua, orang berilmu yang benar dalam mengamalkan
ilmunya, Ketiga, para ilmuwan dan ulama menyeru pada yang ma'ruf, mencegah dari
yang mungkar, mengajak untuk mencari ilmu dan mencintai Al Qur`an. Keempat, wanita yang menjaga pakaiannya dan menjaga
kehormatannya.
Dr. Majdi Al Hilali menulis dalam kitabnya "Innahu al Qur`an Sirru Nahdhatina", bahwa sebuah
umat yang menyepelekan ikhtiar manusiawi artinya sudah mengkhianati Allah.
Sebab Allah memberikan pada manusia hukum sebab-akibat, dan yang tak peduli
dengan itu tandanya tidak mensyukuri nikmat Allah. Ikhtiar manusiawi itu bisa dalam
bentuk physical/social distancing, di rumah
saja. Dengarkan fatwa ulama tentang
menghindari keramaian, termasuk himbauan untuk sementara waktu tidak shalat jumat dulu di masjid. Keputusan itu semuanya didasari dengan dalil dan musyawarah yang panjang.
Bukan dengan ego dan kepentingan pribadi.
Sebab nyawa
seorang manusia itu mahal harganya. Umar bin Khattab imannya tinggi, tetapi ketika suatu hari diberi pilihan untuk
datang ke daerah wabah atau kembali ke Madinah, beliau memilih untuk pulang ke Madinah.
Kalimatnya yang terkenal adalah, "Kita pergi dari takdir Allah ke takdir Allah
yang lain".
Untuk menyembuhkan sebuah penyakit harus dibutuhkan obat. Dalam Islam sendiri ada obat yang kadang sulit untuk dicerna akal sehat, yaitu dengan dzikir tasbih. Tertulis dalam Kitab Al Hilyah, dari Imam Syafi'i bahwasanya beliau berkata, "Obat paling mujarab menghadapi wabah adalah tasbih".
Dikatakan, bahwa alasan mengapa tasbih menjadi
obat mujarab adalah karena dzikir bisa menghilangkan hukuman dan kehancuran. Allah
berfirman, "Maka sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang yang banyak
berdzikir kepada Allah" (QS Ash Shaffat 143) maka Nabi Yunus akan tetap
ada di perut ikan sampai hari kiamat. Dari Ka'ab, ia berkata, "Kalimat 'Subhanallah'
menangkal azab", sebab suatu hari ia pernah melihat seorang yang dihukum
cambuk oleh Umar. Ketika cambukan
pertama, lelaki ini bertasbih kepada Allah, maka Umar memaafkannya. Imam Ibnu
Hajar Al Asqalani berkata, "yang paling benar yang dikatakan oleh Imam
Syafi'i adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan yang lainnya,
"Aku belum melihat obat paling mujarab untuk wabah selain 'Al Banafsaj'
(bunga violet) yang digunakan sebagai wewangian atau diminum".
Dari terjemahan di atas, kita jadi paham bahwa
para ulama kita, selain paham bagaimana memandang sebuah masalah dari sisi
syariah dan akidah, beliau-beliau juga paham bagaimana treatment
menggunakan obat-obatan untuk mencegah wabah.
Begitu luar
biasanya hikmah dari kejadian masa lalu yang bisa kita ambil, maka ambillah
pelajaran dari sejarah ini. Agar kita mawas dan tak jatuh dua kali. Kelak ketika wabah selesai, masjid kembali ramai dengan kamu. Kajian-kajian pun bisa kembali penuh dengan kamu. Semuanya
bermula dari jaga dirimu dan ikuti arahan orang-orang berilmu.
Sumber
:
Gen Saladin
Kitab Al Jami
li Ahkamil Qur'an
Kitab Badl Al Maun fi Fadhl Ath Thaun, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani
Kitab Badl Al Maun fi Fadhl Ath Thaun, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani
Kitab Al Kamil fî At Tarikh, Ibnu Al Atsîr
*Penulis adalah anggota JQH 2016 sekaligus Koordinator Humas 2018/2019
0 Komentar