Pandangan Wadi'ah dalam Bidayatul Mujtahid

 

(Biografi Ibnu Rusyd) 

Al – Faqih Ibnu Rusyd adalah seorang yang dikaruniai banyak sekali ilmu pengetahuan diantaranya adalah, ilmu Fiqh, ilmu kedokteran, ilmu kalam, sastra arab, astronomi, fisika, Matematika dan kedokteran membuatnya menjadi seorang ulama yang sangat disegani karena menyatukan pengetahuan (Unity Of Science) betapa seriusnya beliau dalam menekuni bidang keilmuan. Al Usath dan al Akbar adalah salah satu karya fenomenalnya yang membuat beliau meraih gelar komentator terbesar Aristoteles. Selain itu ada juga karya beliau yang mengkritik pemikiran Al Ghazali dalam bukunya Tahafutut tahafut (menangkis searang Al Ghazali dalam filsafat). Menunjukan bahwa beliau adalah seorang pengkritik yang mana bukan hanya Aristoteles tapi juga menyangkal pendapat Al Ghazali. Meskipun beliau terkenal dengan seorang filosof akan tetapi dalam menyuguhkan karya – karya beliau tak pernah lepas dari landasan tekstual yang mana mampu di pertanggung jawabkan secara akademis. Penjelasan yang padat akan tetapi sangat cukup untuk disesuaikan dengan karyanya. Maka dari itu wajar apabila sampai sekarang karya – karyanya masih dipakai meski telah berabad – abad silam. Pembahasan isi buku Bidayatul Mujtahid tentang wadiah Wadi’ah adalah titipan murni yang mana diterapkan sebuah prinsip percaya dan saling mempercayai. Secara Etimologi, wadiah berasal dari kata Wada’a Asy – syai yang berarti meninggalkanya. Diberi nama Qadi’ah karena ia meninggalkan barangnya kepada yang dititipkan. 

Persoalan – persoalan mengenai Wadi’ah dengan menggunakan perbandingan empat Imam Madzhab. 

a.) Menggunakan barang titipan: Imam Malik berpendapat tanggungan atau amanah yang dapat gugur bila dapat mengembalikan yang semisalnya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika belum menggunakanya , maka ia tidak harus menggantinya. 
b.) Membawa barang titipan dalam bepergian. Imam Malik mengemukakan bahwa ia tidak boleh membawa pergi barang titipanya kecuali posisinya dalam bepergian. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah berpendapat bahwa barang yang dititipan boleh dibawa pergi bila dia yakin jalan yang dilaluinya aman dan pemilik barang tidak melarangnya. 
c.) Menitipkan barang titipan: Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bila ia menitipkannya kepada orang lain tapi harus membiayai maka dia tidak harus menggantinya, karena dianggap sebagai anggota keluarganya. Imam Malik berpendapat boleh menitipkan barang titipan akan tetapi harus dengan seseorang yang dipercayainya seperti keluarganya. 
d.) Kelupaan terhadap barang titipan: Menurut Madzhab Maliki masih diperselisihkan soal penanggungan titipan karena lupa, seperti jika sesorang lupa dimana tempat, lupa dititipin siapa dan ada dua orang yang mengaku, maka kedua orang itu sumpah dan dibagi antara keduanya. 
e.) Hukum menerima titiapan: Imam Malik berpendapat menerima titipan tidaklah wajib. Tapi jika tidak ada mau yang dititipi maka wajib bagi seorang untuk menerima titipan. Tidak berhak menerima upah bila dititipi, tapi jika ada pembiayaan seperti tempat dan lainya maka tanggungan pemiliknya. 
f.) Keuntungan dari barang titipan.: jika dijual mendapatkan keuntungan padahal barang titipan bolehkah? Imam Malik, Abu Yusuf dan sekelompok fuqaha lainya bahwa jika ia mengembalikan harta maka keuntunganya adalah halal baginya. Dan boleh merampas terhadap barang yang dititipi. Imam Abu Hanifah, Zufar dan Muhammad bin al – Hasan punya pendapat pokok harta dikembalikan dan sisanya di sedekahkan.

Oleh Muhammad Nadhiful Labib

Posting Komentar

0 Komentar