
Selain itu, sepertiga awal pada hari-hari di bulan Dzulhijjah (10 hari pertama Bulan Dzulhijjah) merupakan
hari-hari istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Ibnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW
bersabda:
Hadits:
Bagi umat
Islam
yang memiliki
tanggungan puasa Ramadhan juga sangat
dianjurkan untuk mengerjakannya padasepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah tersebut
atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa. Dalam Muktamar NU X di Surakarta tahun
1935, ia
akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala puasa wajib (Qadha Puasa Ramadhan)
dan pahala puasa sunnah. Hal
tersebut mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra pada bab
tentang puasa:
يُعْلَمُ
أَنَّ اْلأَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التََطَوُّعِ أَنْ يَنْوِيَ اْلوَاجِبَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ
وَإِلَّا فَالتَّطَوُّعِ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ
Diketahui bahwa bagi orang yang ingin
berniat puasa sunnah, lebih baik ia juga berniat melakukan puasa wajib jika
memang ia mempunyai tanggungan puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan
(atau jika ia ragu-ragu apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat
puasa sunnah saja, maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya.
Mengenal Puasa
Arafah
Puasa Arafah adalah salah satu puasa
sunnah dalam agama Islam yang dilaksanakan pada hari Arafah (9 Dzulhijah) pada
kalender Hijriyah. Bagi kaum muslim yang sedang tidak menjalankan ibadah haji,
puasa ini sangat dianjurkan. Namun
bagi yang menjalankan haji di Padang Arafah, hal ini dilarang. Larangan tersebut
dijelaskan dalam Kitab Bulughul Maram, Hadits ke 712.
Hadits ke 712:
(spoiler)
Adanya wukuf
di Arafah yang dilaksanakan oleh para jamaah haji, tidak mendasarai adanya
kesunnahan puasa pada hari itu. Namun, puasa ini murni didasari pada datangnya
hari Arafah (9 Dzulhijjah). Penentuan hari Arafah tersebut, telah dijelaskan
dalam Bahtsul Masa’il Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di
Pondok Pesantren Lirboyo, pada akhir tahun 1999. Dalam acara tersebut ditegaskan
bahwa Yaumu Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender negara
setempat yang berdasarkan pada Rukyatul Hilal.
Dengan penjelasan
di atas maka bisa jadi Hari Arafah di Tanah Air tidak bersamaan dengan Hari Arafah di Arab Saudi yang waktunya berjarak 4-5
jam setelah waktu Indonesia.
Hal tersebut bertentangan dengan pendapat kelompok
umat Islam atau kelompok yang ingin mendirikan khilafah islamiyah yang
menghendaki adanya ‘Rukyat Global’, dimana penanggalan Islam disamaratakan
seluruh dunia dan menjadikan
Arab Saudi
sebagai acuan utamanya.
Pendapat yang
memiliki tujuan untuk menyamaratakan penanggalan Islam sangatlah bagus dalam
rangka menyatukan hari raya umat Islam. Namun
menurut Ahli Falak, keinginan ini tidak sesuai dengan kehendak alam atau
prinsip-prinsip keilmuan. Rukyatul Hilal atau Observasi Bulan Sabit yang
dilakukan untuk menentukan awal bulan Hijriyah berlaku secara nasional, yakni
rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri masing-masing dan memiliki
satu wilayah hukum. Hal ini
memiliki dasar petunjuk dari Nabi Muhammad SAW sendiri. (Lebih lanjut tentang hal
ini disini)
Keutamaan Puasa Arafah
Adapun tentang fadhilah atau keutamaan
berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini (Bulughul Maram: Hadits ke 698):
Hadits ke 698:
Puasa Tarwiyah
Para ulama menambahkan adanya kesunnahan
puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8
Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari
Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan
(dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan
mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam
kerangka fadla'ilul a’mal (untuk
memperoleh keutamaan) dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah
aqidah dan hukum.
Memang tidak ada satu hadits shahih pun
yang jelas dan tegas menyatakan sunnahnya berpuasa pada hari Tarwiyah. Namun
perlu kita ketahui, banyak fuqaha’
yang memfatwakan bahwa puasa pada hari Tarwiyah itu hukumnya sunnah atau
sebagai fadhilah, berdasarkan dua alasan:
Pertama,
atas dasar ihtiyath (berhati-hati)
dan cermat dalam mengupayakan mendapat fadhilah puasa Arafah yang begitu besar.
Bahkan Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in berkata, puasa
ini termasuk sunnah mu’akkadah.
Kedua,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits tentang keutamaan sepuluh hari bulan
Dzulhijjah di sisi Allah SWT, yang Tarwiyah dan Arafah juga berada di dalamnya.
Puasa Tarwiyah dan Arafah sangat
dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji
sedang menjalankan ibadah di tanah suci. Sebagai
catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara
pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada Dzulhijjah 1427 H/2006 M, dimana Arab Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah
pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum’at (22
Desember 2006) maka untuk umat Islam di Indonesia
melaksanakan Puasa Tarwiyah dan
Arafah
sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah
(29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.
Tidak bisa dipungkiri bahwa puas adalah jenis amalan yang paling utama
dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini
adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah
meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri
Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah
seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan
dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR
Bukhari Muslim).
Demikian yang
bisa kami sampaikan, semoga bisa menjadi bahan untuk lebih memantapkan kita
dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amiin...
Majlis Ta'lim Wad Da'wah www.nu.or.id.
0 Komentar